-->

Sabtu, 20 Februari 2016

Mengintip Mushala Di Bandara London

MENGINJAKKAN kaki di Inggris adalah impian saya sejak dulu. Sejak memperoleh beasiswa dari Pemerintah Eropa dan mendapatkan student visa, tidaklah mudah bagi saya untuk berkunjung ke Inggris. Negara Ratu Elizabeth II ini memang tidak termasuk dalam “Schengen Area”, sehingga visa khusus yang harganya kurang lebih 200 euro untuk memasuki wilayah Inggris sangatlah diperlukan.

Di waktu liburan setelah ujian berakhir, saya dan seorang teman asal Indonesia memutuskan untuk pergi ke Portugal dengan transit di London beberapa jam. Warga Indonesia hanya diperbolehkan transit kurang dari 24 jam apabila tak memiliki UK Visa. Kami tiba di Bandara Stansted, London, pukul 22.00 GMT. Cukup deg-degan saat melewati imigrasi (border force) yang sangat ketat. Akhirnya, kami lolos dan diizinkan transit untuk menunggu penerbangan keesokan harinya ke Porto, Portugal.

Tak ada kegiatan berarti yang bisa dilakukan selama di bandara malam itu, kecuali hanya duduk atau tidur. Hal yang menarik bagi saya adalah mendengar percakapan orang-orang dengan British accent (logat Inggris) yang kental. Sesekali saya coba tiru cara mereka berbicara yang menurut saya sulit dan melelahkan. Maklum, selama ini saya hanya aktif berbahasa Inggris dengan American accent.

Selain itu, ada hal menarik yang tak pernah saya temukan selama perjalanan saya mengelilingi belasan negara di Eropa, yaitu prayer room atau biasa kita sebut dengan mushala. Dengan semangat kami masuk dan melihat ada sajadah, mukena, Alquran, dan buku-buku islami. Terselip juga Bible di antara buku-buku Islam.

Di dalam prayer room ini juga terdapat tempat berwudhuk. Kami menunaikan shalat Isya dan dan membaca Quran di sana secara bergantian karena ruangan tersebut cukup sempit untuk shalat berjamaah, namun sangat nyaman.

Sesekali petugas bandara memeriksa apakah orang yang di dalam prayer room benar-benar beribadah dan tidak menyalahgunakan ruangan tersebut. “I don’t mind if you’re staying here to pray but not to play, okay?” begitu kata petugas bandara yang ramah dengan British accent saat memeriksa ruangan tersebut.

Beberapa orang dari berbagai ras juga bergantian menggunakan prayer room ini untuk shalat, dari yang berwajah Arab hingga Afrika. Semuanya saling menyapa, “Assalamu’alaikum” ketika masuk dan ke luar ruangan. Mungkin bagi orang-orang yang lama tinggal di Inggris sudah biasa melihat adanya prayer room ini. Namun bagi saya, ini luar biasa! Takjub bukan main. Tak pernah saya temukan terlebih di tempat umum seperti di bandara lain di benua ini. Islam memang lebih diterima di Inggris. Sangat bertolak belakang dengan negara tempat saya belajar, Republik Ceko yang bisa dibilang Islamofobianya cukup tinggi! Jangankan prayer room di tempat umum, masjid kecil yang sudah resmi di pinggiran kota saja pun sering dilempari dengan kotoran ketika masuk jadwal shalat Jumat.

Tiba di Inggris seakan memberikan pengalaman berbeda, bagaimana orang-orang dengan latar belakang dan agama yang berbeda hidup berdampingan dengan rukun. Kehidupan multikultural dan mudahnya akses ibadah membuat negara ini menjadi impian bagi banyak orang untuk bekerja dan menuntut ilmu.

Inggris memberikan kesan yang baik dan positif meskipun saya berada di sana hanya kurang dari sehari. Semoga pengaruh ini menyebar di negara-negara Eropa lainnya, sehingga warga muslim yang menetap memiliki akses mudah untuk beribadah dan hidup tanpa kecaman dari pihak mana pun. Amin ya rabbal’alamin.

OLEH KARTIKA SARI, mahasiswi Universitas Syiah Kuala, penerima beasiswa Erasmus Mundus Undergraduate Exchange Program, melaporkan dari London, Inggris

Previous
Next Post »